(Membumikan Pangan Lokal sebagai Modal Ekologis Pembangunan Berkelanjutan di Papua)
Kurniawan Patma*
B.Y. Arya Wastunimpuna *
*Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata
Papua memiliki julukan sebagai ‘surga kecil yang jatuh ke bumi’, sebuah julukan yang mempertegas keberadaan dan kemagisan sumber daya alam di Papua yang begitu melimpah. Dengan kekayaan alam yang dimiliki Papua menjadi salah satu daerah yang dijadikan sebagai penggerak food estate, namun program ini akan menghadapi tantangan serius terkait potensi krisis ekologis di Papua. Perubahan iklim, ekspansi industri, dan ketidaksetaraan akses lahan menjadi isu yang mendalam di tengah kehidupan masyarakat di Papua. Selain itu, rendahnya ketertarikan anak muda untuk turut serta berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada pangan lokal, juga dapat menghambat tumbuh dan berkembangnya spirit ini di Papua.
Beragam konsep, pandangan dan kebijakan telah diterapkan, tetapi fakta justru berbicara lain kependudukan dan kaitannya dengan sumber pangan tak dapat terpecahkan dengan baik. Sumber pangan lokal di Papua seperti betatas, hipere, sagu, sayur-mayur dan lainnya diperoleh dari aktifitas berkebun. Sedangkan di tingkat kampung dengan masifnya program pemerintah pusat akan cukup berpengaruh pada perubahan pola hidup komunitas tempatan. Masyarakat yang dulunya bergantung hidup dari pangan lokal pada akhirnya beralih, misalnya sagu dan hipere yang kini telah rentan terancam punah akibat kebijakan pembangunan.
Kita jarang menemukan orientasi pembangunan berbasis kearifan lokal dan pengelolaan sumber pangan yang disebut Philip McMichael sebagai “modal ekologis” yang sejalan dengan kedaulatan pangan. Penggunaan pengetahuan lokal mengenai pengelolaan sumber pangan secara tradisional tentu akan sangat arif dan bijaksana. Sebab tiap komunitas suku memiliki ikatan kuat dengan alam yang disebut sebagai kosmologi. Variasi pangan lokal seperti sagu, hipere, kasbi, sayur-mayur dan lain sebagainya harus difasilitasi agar memiliki prospek cukup cerah di masa depan. Pengelolaan sumber pangan secara arif dan lestari telah lama dipraktikkan komunitas suku di kampung kampung Ppaua tanpa menggunakan bahan kimia (tradisional), agro-ekologi bukanlah warisan terbelakang dari masa lalu, tetapi alat penting untuk bertahan di masa depan.
Belum lagi petaka yang dihadirkan industri pertambangan seperti konflik perebutan tanah (sumber agraria), pembantaian pangan lokal dan perusakan ekosistem pertanian tempatan. Tanah-tanah yang awal-mulanya ditanami tanaman pangan lokal sebagai sumber penghidupan diambil-alih oleh pihak perusahaan dengan alasan statusnya berada dalam kawasan konsesi.
Persoalan ekologi bukan hal baru bagi dunia saat ini, tetapi telah terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia di zaman kuno. Namun, bila ditelaah dengan kritis, di era kapitalisme dengan penggunaan teknologi modernlah perusakan ekologi mencapai puncak terparah. Kalangan ekolog Marxis percaya bahwa, metabolisme adalah substansi untuk menjelaskan proses kerja kapitalisme dalam kaitannya dengan kerusakan alam yang tak bisa diperbaiki. Maka letak persoalannya adalah krisis pangan bukan disebabkan kepadatan penduduk, melainkan proses kerja sistem kapitalisme yakni kapitalisasi pertanian, pertanahan dan pemusatan akumulasi kapital. Bekerjanya sistem ini adalah merampas dan merusak pangan lokal. Untuk memperoleh persediaan pangan tentu Anda harus punya kapital dan relasi kuasa apabila lonceng kelangkaan mulai dibunyikan.
Ketahanan pangan selalu menjadi persoalan masyarakat dunia yang membutuhkan pangan untuk bertahan hidup. Penambahan jumlah masyarakat dunia setiap tahunnya mendorong pemerintah di tiap-tiap negara untuk menemukan program yang mendukung kedaulatan pangan bagi warga negara mereka. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan adalah program food estate. Menurut PERMEN LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2020 Tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate, Food estate adalah usaha pangan skala luas yang merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam melalui upaya manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan di suatu Kawasan Hutan. Komoditas pangan yang rencananya akan diproduksi adalah padi, singkong, jagung serta komoditas strategis lainnya.
Program food estate dalam konteks negative bisa dianggap sebagai perampasan ruang yang berlindung dibalik program ketahanan pangan. Alasannya adalah wilayah dan ruang yang digunakan untuk melaksanakan food estate yang sangat luas merupakan kawasan hutan. Pada kasus food estate di Papua, lahan kawasan hutan seluas hampir 2,7 hektare akan digunakan untuk merealisasikan program ini. Hal ini tentu mendorong laju konversi lahan dan deforestasi yang merupakan “red flag” yang harus diperhatikan karena memberikan ancaman lingkungan hidup dan relasi masyarakat dengan alam secara nyata. Lebih jauh, pelaksanaan dan penentuan kebijakan program food estate tersebut tidak melibatkan Masyarakat adat dan Orang Asli Papua yang hidup dan berkaitan langsung dengan kawasan itu. Tidak hanya itu, food estate yang dilakukan di Papua mengesampingkan makanan pokok mayoritas, yaitu sagu. Kawasan yang harusnya dapat memberikan ketahanan pangan bagi masyarakat, khususnya di Kawasan Hutan Papua malah dijadikan lahan sawah untuk menanam padi. Program ini tentu mengesampingkan hak Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua atas tanah, hutan dan hak-hak lainnya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas tidak mengherankan mengapa masih banyak pihak yang menolak pelaksanaan program food estate ini. Meskipun dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pembukaan lapangan pekerjaan tetapi aspek lain yang berkaitan kurang diperhatikan. Padahal untuk mencapai pengelolaan yang berkelanjutan dibutuhkan keseimbangan antara biologi, ekologi, kemanusiaan (sosial) dan ekonomi.
Konsep agroekologi dimaknai sebagai cara bertani yang mengintegrasikan secara komprehensif aspek pemulihan ekologi hingga sosial ekonomi masyarakat. Suatu mekanisme berkebun yang dapat memenuhi kriteria (1) keuntungan ekonomi; (2) keuntungan sosial bagi keluarga dan masyarakat; dan (3) perlindungan keanekaragamanhayati secara berkelanjutan. Tujuannya untuk memutus ketergantungan masyarakat terhadap input eksternal dan penguasa pasar yang mendominasi sumber daya agraria. Pelaksanaan pertanian agroekologi bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan.
Pada prakteknya, agroekologi dilihat sebagai tindakan yang meliputi: (1) Penerapan agroekologi pada desain dan pengelolaan ekosistem pertanian berkelanjutan. (2) Pendekatan menyeluruh pada pertanian dan pengembangan sistem pangan yang berbasis pada pengetahuan tradisional, pertanian alternatif, dan pengalaman sistem pangan lokal, (3) Keterkaitan ekologi, budaya, ekonomi, dan komunitas untuk keberlanjutan produksi pertanian, kesehatan lingkungan, dan kelestarian pangan dan masyarakat.
Agroekologi menjadi solusi bagi masyarakat di Papua untuk mengenali sumber-sumber daya alam yang ada di tingkat lokal, seperti bahan baku pembuatan pupuk yang alami untuk menghidupkan kembali tanah dan benih lokal yang sudah teruji adaptif. Kegiatan ini harus didukung oleh pengembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. Kontekstualisasi dari agroekologi ini melalui pasar pangan lokal yang berkelanjutan. Salah satu praktek baik yang sudah dipraktekkan adalah kehadiran dari Waibu Agro Edu Tourism serta Eco Fest season 2 yang diinisiasi oleh Tim Kreatif Universitas Cenderawasih yang mengangkat tema utama Pangan Lokal, diharapkan pelaksanaan program yang bagus ini dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan mengedepankan aspek-aspek humanis, ekologi dan biologi salah satunya melalui agro ekologis.
Penulis : Gin
Editor : Buendi