JAYAPURA- Kisah seorang ayah paru bayah bernama Yorgen Ayomi yang hidup bersama ketujuh anak dan dua cucunya di sebuah bangunan rusak yang tak layak huni di kawasan Kali Hanyaan, Kelurahan Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua.
Sejak 2020, Yorgen dan ketujuh anaknya mempunyai gubuk yang berada di pinggiran Kali Hanyaan, namun karena banjir sejak 2019, sehingga rumah tersebut rusak dan tak bisa dihuni lagi. Alhasil, Yorgen memutuskan untuk tinggal bersama ketujuh anak dan dua cucunya di sebuah gedung kosong yang berada di daerah tersebut.
Sebagai seorang ayah, Yorgen harus berjuang membesarkan ketujuh anak dan dua cucunya sendirian, setelah ditinggalkan oleh istri mereka. Ketujuh anak-anak ini hidup dalam keadaan yang memprihatinkan bersama sang ayah.
Yorgen adalah seorang pekerja perabotan yang mengandalkan keahliannya untuk menghidupi ketujuh anaknya. Hidupnya bersama anak-anak dan cucu-cucu terasa berat sejak ibu (istrinya) meninggalkan rumah.
“Semua ini berlangsung sejak 2020 hingga 2020. Selama 5 tahun ini anak-anak dan cucu-cucu harus bertahan hidup tanpa kasih sayang ibu, tanpa penghasilan tetap yang memadai dan dalam kondisi tempat tinggal yang sangat tidak layak,” jelasnya, Minggu (20/7/2025).
Tinggal di Bangunan Bekas Tanpa Seizin Pemilknya
Menurut Yorgen, sejak 2019, banjir menghancurkan rumah yang ditinggalinya selama ini bersama anak-anak, saat ia bersama anak-anak saat itu sedang mengais botol plastik di tempat sampah, menjaga parkir di toko-toko seputaran Entrop, demi menyambung hidup sehari-hari.
Saat hendak kembali, Yorgen bersama anak-anaknya menemukan bahwa rumah yang ditepati selama ini sudah terendam air. Dimana semua seisi rumah sudah terendam air, yang ada saat itu hanyalah baju di badan.
Yorgen kemudian memutuskan untuk membawa ketujuh anak-anak untuk sementara menumpang disebuah bangunan kosong di belakang Kali Hanyaan. Bangunan bekas ini milik Toko Matahari.
“Bangunan bekas ini kami tempati selama lima tahun ini tanpa seizin pemiliknya, karena hanya ini satu-satunya pilihan yang tersedia,” ungkap Yorgen.
“Sementara kami tinggal di bangunan tua yang tidak terawat dan nyaris roboh. Karena rumah kami yang sebelumnya hancur karena banjir,” sambung dia.
Yorgen Ayomi adalah seorang pekerja perabotan yang mengandalkan keahliannya untuk menghidupi ketujuh anaknya. Namun, beban hidup semakin berat sejak ibu mereka meninggalkan rumah. Yang paling memilukan, anak bungsu yang masih duduk di bangku SD telah sakit hampir tujuh bulan terakhir, diduga akibat kekurangan gizi.
Kadang Menahan Lapar, Makan Jika Ada
Jorgen mengatakan, kehidupannya bersama anak-anak dan cucu-cucu berubah, ketika sang istri pergi dan memutuskan untuk tidak kembali. Meski masih bekerja di salah satu kantor yang ada di kota Jayapura.
Sang istri (ibu) malah menolak untuk menemui anak-anaknya ketika mereka datang meminta bantuan, bahkan saat mereka sekedar meminta uang untuk kebutuhan sekolah atau makan sehari-hari.
“Anak-anak ini hanya bisa makan jika ada makanan. Jika tidak, mereka tidak makan sama sekali. Tak jarang, mereka harus menahan lapar hingga keesokan harinya,” katanya.
Anak-anak sering pergi menemui ibunya di kantor, namun selalu ditolak. Kini Yorgen bersama kelima anak dan dua cucunya hanya bertahan hidup dengan Dungan sau sama lain dan perjuangannya sebagai seorang ayah yang terus bekerja, meski penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam keluarganya.
“Anak saya yang bungsu sudah 7 bulan ini mengalami sakit dan belum juga sembuh-sembuh, sepertinya kurang gizi,” ujarnya.
Selain itu, kondisi tempat tinggal mereka sangat jauh dari kata layak, sebab bangunan yang sudah ditepati selama 5 tahun ini tidak memiliki dinding permanen, disekelilingnya dipenuhi sampah dan tidak memiliki fasilitas dasar, seperti jamban (WC) dan aliran listrik.
Sementara, untuk tidur pun Jorgen bersama kelima anak dan dua cucunya hanya beralaskan kasur lusuh. Saat malam tiba, mereka tidur tanpa lampu penerangan. Tidur dalam kondisi kegelapan.
“Selama ini untuk menghidupi kehidupan sehari-hari saya bersama anak-anak dan cucu-cucu hanya mengandalkan hasil penjualan barang rongsokan yang dikumpulkan sebulan sekali. Selain itu, anak dan menantu juga bekerja serabutan sebagai penjaga parkir,” ujarnya.
Harapannya
Yorgen berharap, anak-anaknya tetap kuat dan kelak bisa tumbuh menjadi orang yang baik dan berguna bagi sesama kelaknya.
“Saya berharap mereka (anak-anak dan cucu-cucu) tidak mengikuti jejak buruh, tetapi tetap percaya pada nilai kehidupan yang jujur, tangguh dan penuh kasih,” ucapnya.
Selain itu, Yorgen juga berharap, Pemerintah Kota Jayapura dan lembaga sosial bisa memberikan dukungan nyata, baik berupa tempat tinggal yang layak, bantuan pendidikan, maupun perawatan kesehatan untuk anak-anaknya.
“Kami tidak minta banyak, asalkan anak-anak saya bisa sekolah, bisa makan dan bisa sehat. Itu saja dan bisa tinggal di rumah yang lebih layak,” tutupnya.
Penulis : Gin
Editor : Buendi