Wamena – Mumak Nirigi (35), warga Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga, dilaporkan hilang sejak Jumat, 3 Oktober 2025. Ia diduga diculik di wilayah Wisigi, Mebarok, pasca eskalasi operasi militer di daerah tersebut. Hingga kini, keberadaannya belum diketahui, apakah masih ditahan atau telah meninggal dunia.
“Istrinya hanya menemukan pakaian, topi, dan ubi hasil kebun. Ia juga melihat bekas jejak sepatu. Artinya, Mumak Nirigi sudah ditangkap sejak 3 Oktober. Kami tidak tahu apakah ia masih hidup atau sudah meninggal,” kata Anggota DPRK Nduga, Leri Gwijangge, kepada media di Wamena, Senin (13/10).
Leri meminta Panglima TNI, Menteri Pertahanan, Pangdam XVII Cenderawasih, dan Pangkodap Wilayah III segera memerintahkan Danpos atau petugas di Pos TNI Distrik Mebarok untuk menyampaikan keberadaan Mumak Nirigi. “Jika masih ditahan, segera serahkan kepada pemerintah daerah di Keneyam, bukan dilepas di hutan,” tegasnya.
Konflik Nduga Memasuki Tahun Ketujuh
Konflik bersenjata di Kabupaten Nduga telah berlangsung sejak 2 Desember 2018. Selama tujuh tahun terakhir, masyarakat terus mengungsi ke berbagai wilayah, meski sebagian masih bertahan di kampung-kampung atau distrik.
Dalam salah satu peristiwa penting, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) menahan pilot asal Selandia Baru, Philips Marten. Penyerahan pilot dilakukan secara damai di daerah Yuguru, Distrik Mebarok, Kabupaten Nduga. Namun, setelah penyerahan tersebut, terjadi peningkatan operasi militer oleh TNI non-organik.
Rumah Dibakar, Gereja Dijadikan Pos
Leri menyebutkan bahwa rumah-rumah warga di sejumlah distrik, termasuk Mebarok, dibakar oleh aparat TNI. Bahkan, tempat ibadah dijadikan pos militer.
“Seharusnya TNI tidak membakar rumah warga dan menempati gereja. Saya pikir TNI sudah dibekali aturan dan pendidikan tentang bagaimana menangani kombatan dan pengungsi dalam situasi seperti ini,” ujarnya.
Pengungsi Terus Bertambah
Menurut Leri, penyerahan pilot dilakukan atas kerja sama tim negosiator, pihak gereja, dan masyarakat setempat demi kemanusiaan. Namun, setelah itu, masyarakat kembali mengungsi karena meningkatnya operasi militer.
“Bukan pembebasan, tapi penyerahan dalam keadaan baik dan aman. Seharusnya ada ucapan terima kasih, bukan pendoropan. Apalagi masih ada pengungsi dari Mapenduma, Paro, Mugi, dan Kagayem yang tinggal di Mebarok-Yuguru,” katanya.
Ia menambahkan, hampir semua distrik di Nduga kini memiliki pos TNI. Penangkapan, penyiksaan, dan pengungsian terus terjadi sejak 2018.
Trauma dan Kekerasan Terulang
Leri juga menceritakan bahwa masyarakat sempat menerima kehadiran TNI yang membagikan bendera merah putih dan Alkitab sebagai simbol damai. Namun, hanya berselang satu minggu, Abral Wandimbo ditangkap lokasi yang telah ditandai dengan bendera tersebut.
“Sejak itu masyarakat trauma dan kembali mengungsi ke Lanny Jaya dan Wamena. Bahkan ada seorang anak yang ditembak di kaki saat mengambil ubi di kebun. Tulangnya hancur,” ungkapnya.
Ia juga menerima laporan bahwa warga yang melintasi jalan sering mendapat tembakan dari aparat. Di sepanjang Kali Yuguru Hulu hingga Hilir, sekitar 50 KK tinggal, namun 40 KK telah mengungsi pasca penembakan.
Minimnya Perhatian Pemerintah
Sejak awal konflik, perhatian pemerintah terhadap pengungsi dinilai sangat minim. “Makan dan minum ada, tapi kebutuhan tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan tidak diperhatikan. Anak-anak dan jaminan kesehatan diterlantarkan,” kata Leri.
Ia meminta Pemda Nduga, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, untuk bekerja sama mengembalikan masyarakat ke kampung. “Urusan keamanan memang pusat, tapi visi misi bupati dan program pemerintah pusat harus dirasakan rakyat. Pemerintah daerah dan provinsi harus diberi kewenangan menyelesaikan,” ujarnya.
Desakan Penarikan Pasukan dan Evaluasi Pemekaran
Leri mendesak agar pasukan TNI ditarik dari Nduga dan Papua Pegunungan. Menurutnya, militerisasi yang terjadi saat ini sangat tidak dibenarkan.
“Provinsi dan kabupaten hadir untuk dinikmati rakyat, bukan untuk menyiksa. Korban saat ini adalah masyarakat sipil yang ditemui di kebun, jalan, dan hutan,” tegasnya.
Ia juga mengkritik DPR Papua Pegunungan dan MRP yang dinilai tidak responsif terhadap penderitaan masyarakat. “Jangan pura-pura tidak melihat. Kita harus kolaborasi menuntut penyelesaian kepada pemerintah pusat,” pungkasnya






















