JAYAPURA – Dengan adanya perubahan iklim, lingkungan hidup mengalami kerusakan semakin parah, sehingga mengancam bumi dan seisinya. Akibatnya, terdapat kewajiban tertentu kepada pemerintah untuk melakukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Litigasi perubahan iklim mulai berkembang di seluruh dunia. Bentuk litigasi ini juga mencakup tuntutan hukum dari warga negara terhadap negara serta kewajiban negara dalam melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang terus mengancam.Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji,mengatakan kita hari ini bicara soal membangun dari dalam rumah, makanya yang paling penting dari ini adalah cerita soal rumah itu sendiri.
“Dari cerita itu kita harus mengenal kondisi rumah kita dengan baik. Tanpa ada pengetahuan soal bagaimana rumah kita sekarang hari ini, kita tidak akan bisa membangun apapun dari dalam rumah. Yang harus diketahui pertama kali adalah kondisi rumah. Dari cerita tersebut dikontekskan dalam perubahan iklim,” katanya dalam diskusi publik terkait Litigasi Iklim menyelematkan hutan dan tanah adat di aula Fakultas Hukum Uncen, Rabu (13/9/2023)
Dikatakannya, dari pihaknya menggunakan salah satu data dari Universitas Maryland untuk melihat berapa luasan hutan yang hilang di Papua.
“Kami temukan di antara tahun 2011 sampai 2021,Hutan Papua hilang kurang lebih 5 kali luasan DKI Jakarta atau seluas 343.041 ha, berapa tahun lagi kita bisa lihat hutan di Papua? Kalau hilangnya hutan Papua setiap 10 tahun seperti itu. Apakah 200 tahun ke depan kita masih bisa lihat hutan Papua?,” jelasnya.
Mengingat sekarang munculnya pemekaran DOB-DOB baru, Kata Sekar, Didalam peta papua, yang hijau muda itu adalah tutupan hutan yang sudah ada di area produksi.Area produksi maksudnya dia tak lagi dilindungi dan siap dilepaskan, digunakan untuk pembangunan maka area yang hijau itu siap hilang.
“Dalam data soal luas tutupan hutan di 4 provinsi, ada 6.784 juta ha berada dalam kawasan hutan produksi. 4.000 juta ha yang lain itu berada di kawasan hutan produksi.Dan seluas 2.157 juta hektare dalam kawasan hutan produksi untuk konversi ada 12.991 juta hektare yang juga termasuk tutupan hutan yang terancam deforestasi atau terancam hilang. Ini adalah masa depan atau kondisi soal rumah kita Papua hari ini,” bebernya.
Dengan kondisi hutan papua yang terus mengalami laju deforestasi ada setidaknya delapan hal yang mulai terlihat di Papua dan kondisi ini akan semakin parah setiap harinya
“Di Papua sudah terjadi cuaca ekstrem, kekeringan atau gagal panen di kabupaten Yahukimo, mencairnya gletser puncak jaya, pengasaman laut atau pemutihan karang, perubahan musim penangkapan ikan, ancaman kenaikan permukaan air laut, kebakaran hutan dan lahan ditengah gelombang panas ekstrem dan dampak dari kesehatan yaitu meningkatnya penyakit malaria dan inilah kondisi rumah kita hari ini,” tutupnya.
Sekretaris Dewan Adat Papua, Leo Imbiri, menyampaikan ini bisa menjadi satu gagasan yang kemudian dikembangkan bersama dengan masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat karena masyarakat adat itu punya norma nilai pengelolaan hutan di Papua maupun penyelamatan iklim global.
“Melihat banyak konsep yang sudah ditawarkan tapi praktik yang mampu menyelamatkan iklim yaitu masyarakat adat. Karena masyarakat adat hidup dengan berkecukupan,” ujarnya
Dikatakannya, soal iklim itu mereka tidak memahaminya sebagai bagian integral dari kehidupan mereka. Merusak hutan berarti merusak kehidupan masyarakat adat, bagaimana kedepannya dikolaborasikan menjadi bagian dari kebijakan-kebijakan pembangunan di Indonesia.
“Yang kita perlukan adalah memperhadapkan hak masyarakat adat dengan kerangka-kerangka hukum melalui proses litigasi, ini bisa menjadi perjuangan masyarakat adat tapi juga menjadi pembelajaran masyarakat adat untuk memperkuat sistem untuk mengelola hutannya sendiri,” jelasnya.
Sementara, Dekan Fakultas Hukum Uncen, Prof. Dr, Frans Reumi menyampaikan Litigasi selama ini yang dilakukan terutama berkaitan dengan iklim, prosedur ini sekarang semua jalan dan sesuai dengan mekanisme formil yang kita kenal dalam sistem peradilan. selain litigasi perlu juga non-litigasi, karena non-litigasi penting untuk memperkuat litigasi dalam proses formilnya.
“Dalam peradilan negara, apalagi berkaitan dengan penyelamatan hutan dan tanah adat di Papua berhubungan dengan manusianya, bahwa hutan dan tanah ini adalah objeknya sedangkan subjeknya itu adalah masyarakat adat itu sendiri. Misalnya kita menyelamatkan iklim berkaitan dengan hutan dan tanah adat maka pemerintah daerah punya tanggung jawab menyelematkan ” jelasnya. (Ikbal Asra)