Top Level, Top Wise: Refleksi 170 Tahun Kekristenan di Tanah Papua

- Penulis

Selasa, 11 Februari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ditulis Oleh: Eddy Way

Casuistik, tetapi spiritnya nyaris universal. Fenomena yang sering kita temui dalam berbagai aspek kehidupan, dari politik, pelayanan publik, hingga hubungan sosial, selalu saja ada pengecualian yang dibuat. Ada yang dengan enteng mengatakan, “Itu lawan, ini kawan.” Seakan-akan, setiap keputusan, kebijakan, dan akses terhadap pelayanan hanya ditentukan oleh loyalitas, bukan keadilan.

Tentu ini bukan sekadar persoalan administratif atau politik, melainkan cerminan dari cara berpikir yang telah tertanam dalam sistem. Padahal, setelah 170 tahun kekristenan hadir di tanah Papua, seharusnya nilai-nilai utama dalam ajaran Kristus sudah meresap dan menjadi panduan dalam bertindak. Jika benar demikian, mereka yang sudah mencapai “top level” dalam kepemimpinan dan pengaruh tidak seharusnya terjebak dalam praktik yang mendiskriminasi dan menciptakan perpecahan. Yang dibutuhkan bukan hanya posisi tinggi, tetapi kebijaksanaan yang sejati—top wise, bukan top marah-marah, bukan top jengkel, bukan top musuh-musuhan atau top lawan-lawan-an.

Sayangnya, realitas sering kali berkata lain. Kekristenan yang seharusnya menjadi sumber hikmat dan pemersatu, justru kerap kali masih tertinggal dalam jebakan kepentingan pribadi dan kelompok.

Dikotomi Kawan-Lawan dalam Layanan Publik

Salah satu tantangan terbesar dalam kehidupan sosial dan birokrasi di Papua adalah kecenderungan untuk membagi masyarakat dalam dikotomi kawan-lawan. Dalam setiap kebijakan dan keputusan, ada kecenderungan memilih siapa yang layak mendapat perhatian dan siapa yang harus dipinggirkan.

Kita mendengar, melihat, bahkan mengalami sendiri bagaimana seseorang bisa kehilangan haknya hanya karena dianggap “tidak sejalan.” Ada yang harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan pelayanan publik, bukan karena mereka tidak memenuhi syarat, tetapi karena mereka dianggap sebagai bagian dari kelompok yang “berseberangan.”

Di sinilah letak keprihatinan kita. Jika benar 170 tahun kekristenan telah mengakar di tanah Papua, seharusnya pola pikir seperti ini sudah ditinggalkan. Sebab, kekristenan mengajarkan keadilan, kasih, dan pelayanan yang tidak memandang perbedaan. Kristus sendiri tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan kepentingan kelompok atau orientasi politik. Ketika Dia memberi makan lima ribu orang, Dia tidak menanyakan siapa yang setia kepada-Nya dan siapa yang hanya datang untuk makan.

Lalu mengapa, setelah 170 tahun, kita masih terjebak dalam pola pikir yang membelah manusia berdasarkan kepentingan sesaat?

Dari Top Level ke Top Wise

Tidak dapat disangkal bahwa dalam berbagai bidang, banyak orang Kristen Papua yang telah mencapai “top level.” Mereka menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, institusi keagamaan, ekonomi, bahkan dalam dunia akademik dan politik. Namun, persoalannya bukan sekadar berada di puncak, melainkan bagaimana mereka menggunakan posisi itu.

Apakah mereka menjadi pemimpin yang bijak? Apakah mereka membawa nilai-nilai kekristenan dalam setiap kebijakan dan keputusan mereka? Atau justru sebaliknya, mereka menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan diskriminasi, ketidakadilan, dan perpecahan?

Pemimpin yang bijak memahami bahwa kekuasaan adalah alat untuk melayani, bukan untuk memperkuat dominasi. Mereka tidak membiarkan diri mereka dikendalikan oleh amarah, dendam, atau kepentingan pribadi.

Tetapi kenyataannya, ada juga mereka yang telah mencapai “top level,” tetapi masih terjebak dalam pola pikir “top marah-marah,” “top jengkel,” dan “top musuh-musuhan.” Alih-alih menjadi pembawa damai dan keadilan, mereka justru memperdalam jurang perpecahan dengan kebijakan yang eksklusif dan sikap yang antagonistik.

Jika kekristenan benar-benar telah meresap dalam diri mereka, seharusnya mereka lebih memilih menjadi pemimpin yang bijak daripada pemimpin yang penuh amarah dan dendam. Sebab, posisi tinggi tanpa kebijaksanaan hanya akan membawa kehancuran, bukan kemajuan.

170 Tahun Kekristenan: Apa yang Harus Diresapi?

Sejarah mencatat bahwa masuknya kekristenan ke tanah Papua bukan sekadar membawa perubahan dalam aspek keagamaan, tetapi juga dalam tatanan sosial dan budaya. Injil membawa pesan kasih, pengampunan, dan keadilan.

Namun, apakah nilai-nilai itu benar-benar telah meresap? Apakah orang-orang Kristen yang kini berada di posisi tinggi benar-benar menghayati esensi iman mereka dalam kepemimpinan dan pelayanan?

Meresapi kekristenan berarti memahami bahwa kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk melayani. Meresapi kekristenan berarti meninggalkan kebiasaan membeda-bedakan manusia berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok. Meresapi kekristenan berarti menjadi pemimpin yang mengutamakan keadilan, bukan kepentingan sesaat.

Jika setelah 170 tahun masih ada orang-orang Kristen di Papua yang terjebak dalam cara berpikir kawan-lawan, dalam kemarahan yang tak berujung, dalam dendam yang berkepanjangan, maka itu pertanda bahwa mereka belum benar-benar menginsafi makna kekristenan.

Menjadi Terang di Tempat Tertinggi

Yesus berkata bahwa tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menyembunyikannya di bawah gantang. Pelita seharusnya diletakkan di tempat tinggi agar menerangi sekelilingnya.

Orang-orang Kristen Papua yang telah mencapai “top level” dalam berbagai bidang memiliki tanggung jawab besar. Mereka adalah pelita yang berada di tempat tinggi. Jika mereka bersinar dengan kebijaksanaan, maka seluruh masyarakat akan mendapat terang. Tetapi jika mereka malah menebarkan kegelapan dengan kebencian dan ketidakadilan, maka dampaknya pun akan semakin luas.

Seharusnya, setelah 170 tahun, kekristenan di tanah Papua melahirkan pemimpin-pemimpin yang menjadi terang bagi semua, bukan hanya bagi kelompok tertentu. Seharusnya, setelah 170 tahun, kekristenan melahirkan pemimpin yang mampu merangkul, bukan hanya yang pandai membeda-bedakan.

Seharusnya, setelah 170 tahun, orang Kristen di Papua lebih dikenal karena kebijaksanaannya, bukan karena amarah dan dendamnya.

Penutup

Kekristenan di tanah Papua telah berjalan 170 tahun. Perubahan besar telah terjadi, baik dalam aspek spiritual maupun sosial. Namun, perubahan yang sejati bukan hanya soal jumlah gereja yang berdiri atau banyaknya orang Kristen yang menduduki jabatan tinggi. Perubahan sejati adalah bagaimana nilai-nilai kekristenan benar-benar diterapkan dalam kehidupan, dalam kepemimpinan, dan dalam kebijakan.

Yang kita harapkan bukan sekadar orang Kristen di “top level,” tetapi juga mereka yang “top wise.” Karena hanya dengan kebijaksanaan, Papua bisa menjadi tanah yang damai, adil, dan penuh kasih—seperti yang Tuhan kehendaki.

Facebook Comments Box

Penulis : Gin

Editor : Buendi

Sumber Berita: Eddy Way

Berita Terkait

Hari Bhayangkara ke-79, TP PKK Jayawijaya Apresiasi Peran Polri sebagai Mitra Kesejahteraan Masyarakat
TP PKK Jayawijaya Tancap Gas! Posyandu Aktif di 40 Distrik, PAUD dan Kader Siap Bergerak
25 Personel Polres Jayawijaya Naik Pangkat, Kapolres: “Ini Amanah, Bukan Sekadar Prestasi”
Yakobus Kosay Desak BPN Jayawijaya Segera Terbitkan Sertifikat Tanah Miliknya
Forum Pribumi Papua Pegunungan Buka Palang BKD, Desak Pengisian 251 Formasi CPNS Kosong
Masyarakat Benawa Minta Pemekaran Distrik, Bukan CDOB Kabupaten
Tokoh Agama Papua Ajak Masyarakat Jaga Kedamaian Jelang PSU Pilkada Gubernur
Pj. Sekda Papua Pegunungan Wasuok Demianus Siep Hadiri Ucapan Syukur HUT Bhayangkara ke-79 di Polres Jayawijaya
Top Level, Top Wise: Refleksi 170 Tahun Kekristenan di Tanah Papua

Berita Terkait

Selasa, 1 Juli 2025 - 19:31 WIT

Hari Bhayangkara ke-79, TP PKK Jayawijaya Apresiasi Peran Polri sebagai Mitra Kesejahteraan Masyarakat

Selasa, 1 Juli 2025 - 19:23 WIT

TP PKK Jayawijaya Tancap Gas! Posyandu Aktif di 40 Distrik, PAUD dan Kader Siap Bergerak

Selasa, 1 Juli 2025 - 19:14 WIT

25 Personel Polres Jayawijaya Naik Pangkat, Kapolres: “Ini Amanah, Bukan Sekadar Prestasi”

Selasa, 1 Juli 2025 - 18:26 WIT

Yakobus Kosay Desak BPN Jayawijaya Segera Terbitkan Sertifikat Tanah Miliknya

Selasa, 1 Juli 2025 - 18:16 WIT

Forum Pribumi Papua Pegunungan Buka Palang BKD, Desak Pengisian 251 Formasi CPNS Kosong

Berita Terbaru